Muhammad Ainun Najib, dikenal dengan nama MH Ainun Najib dan akrab disapa dengan nama ‘Cak Nun’. Beliau lahir di Jombang, Jawa Timur pada tanggal 27 Mei 61 tahun yang lalu. Cak Nun yang dikenal sebagai budayawan, seniman, intelektual muslim, dan juga kolomnis ini merupakan anak keempat dari 15 bersaudara. Terlahir di tengah-tengah keluarga sederhana dengan seorang ayah yang bekerja sebagai petani sekaligus kiai yang memiliki sebuah surau dan seorang ibu yang mengabdi sebagai ibu rumah tangga.
Sejak kecil, Cak Nun sudah memiliki jiwa sosial yang tinggi. Lingkungan masa kecilnya yang membentuk karakter Cak Nun tumbuh sebagai sosok dengan kepedulian sosial yang begitu besar. Ayah dan ibu Cak Nun adalah tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Semua masalah dan keluh kesah warga disampaikan kepada orang tua Cak Nun. Pokoknya orang tua Cak Nun menjadi tempat mengadu untuk warga sekitar.
Di masa kecilnya, Cak Nun biasa digendong sang ibu lalu diajak berjalan-jalan menyusuri kampung tempat mereka tinggal. Sang ibu menanyakan masalah yang dihadapi para tetangga. Misalnya menanyakan adakah yang dimakan pada hari itu, apakah anak-anak mereka sehat, bagaimana dengan sekolah anak-anak. Pokoknya semua permasalahan yang biasa terjadi di masyarakat ditanyakan oleh ibu Cak Nun. Dari situlah, Cak Nun terbiasa untuk peduli kepada orang lain. Dan dari situlah dari diri Cak Nun mulai tumbuh jiwa sosial yang begitu kuat.
Berangkat dari kisahnya bersama ayah dan ibu yang menjadi sandaran masyarakat, Cak Nun mulai belajar agama. Apa hubungannya? Ayah dan ibu Cak Nun terbiasa menyelesaikan segala permasalahan yang dikeluhkan oleh tetangga mereka dengan ilmu agama Islam. Kehidupan agama Islam di keluarga Cak Nun begitu kuat. Semua permasalahan, semua keluh kesah warga, selalu ditanggapi dengan dasar ilmu agama. Inilah yang membentuk Cak Nun sebagai pribadi dengan jiwa sosial dan ilmu agama yang sama kuatnya. Kata beliau ilmu agama Islam adalah sebuah kunci untuk menolong orang yang tidak mampu di segala bidang agar dibuat mampu menjadi manusia.
Tumbuh dewasa, Cak Nun tidak melepaskan bekal yang diberikan orang tuanya sejak kecil. Dengan jiwa sosial dan ilmu agama Islam yang teguh, Cak Nun dikenal sebagai seorang intelektual yang mengusung napas islami di Indonesia.
Dibesarkan di keluarga yang penuh dengan napas Islami, Cak Nun kemudian dimasukkan ke pondok pesantren Darussalam Gontor setelah tamat dari Sekolah Dasar. Akan tetapi, Cak Nun tidak bertahan lama di sana. Di pondok pesantren yang diasuh oleh K.H. Imam Zarkasyi itu Cak Nun hanya bertahan selama 2,5 tahun. Bagaimana bisa ya? Apa beliau tidak cocok dengan kehidupan pondok pesantren yang dikenal ketat pada santri-santrinya?
Semua bermula dari sebuah aksi protes yang dilancarkan oleh Cak Nun terhadap ketidakadilan petugas keamanan pondok. Cak Nun yang sejak kecil memang dikenal sebagai anak yang kritis pada saat itu tidak bisa menahan diri untuk melancarkan sebuah aksi protes yang berujung pada harus keluarnya Cak Nun kecil dari pondok pesantren Darussalam Gontor. Pergi dari pondok pesantren, Cak Nun kemudian pindah ke Yogyakarta dan melanjutkan sekolah di kota pelajar itu sampai tamat dari SMA Muhammadiyah 1.
Lulus dari SMA, Cak Nun melanjutkan perjalanan studinya di kota yang sama. Beliau masuk ke Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Sayang sekali, beliau tidak bisa menamatkan sekolahnya di sana. Pendidikan formalnya di perguruan tinggi harus berakhir ketika ia baru berada di semester 1.
Ainun Najib |
Cak Nun kemudian menghabiskan waktunya di Malioboro antara tahun 1970-1975-an. Dari sinilah Cak Nun mulai mengenal dan mendalami dunia sastra. Meninggalkan ilmu ekonominya Cak Nun memilih untuk mempelajari sastra. Beliau belajar sastra dari seorang sufi yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Cak Nun yakni Umbu Landu Paranggi.
Pada tahun 1980-an, Cak Nun menemukan masa di mana ia bisa menjadi produktif dengan bekal ilmu sastra yang ia peroleh dari gurunya. Dalam rentang waktu tersebut, Cak Nun melahirkan beberapa karya, di antaranya adalah: Sajak-sajak Sepanjang Jalan yang keluar pada tahun 1977, Cahaya Maha Cahaya pada tahun 1988, Syair Lautan Jilbab pada tahun 1989, serta Suluk Pesisiran pada tahun 1990. Selain karya-karya ini, Cak Nun juga pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina pada tahun 1980, International Writing Program di Universitas Lowa Amerika Serikat pada tahun 1984, Festival Penyair International di Rotterdam, Belanda pada tahun 1984, serta sebuah festival di Berlin Barat, Jerman yaitu festival Horizonte pada tahun 1985.
Selain menulis dan aktif mengikuti festival-festival ternama di dunia, Cak Nun juga aktif di teater dinasti. Keikutsertaannya di teater dinasti ini menghasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama. Beberapa judul drama yang pernah dipentaskan oleh Cak Nun di antaranya adalah: Geger Wong Ngoyak Macan pada tahun 1989 yang menceritakan pemerintahan ‘Raja’ presiden Soeharto, Patung Kekasih pada tahun 1989 yang menceritakan pengkultusan, Keajaiban Lik Par pada tahun 1980 yang mengisahkan eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern, dan Mas Dukun pada tahun 1982 yang bercerita tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern.
Tidak hanya bergabung dengan satu teater, Cak Nun juga bergabung bersama teater Salahudin. Bersama teater Salahudin, Cak Nun mementaskan Santri-Santri Khidir yang digelar pada tahun 1990 berlokasi di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain serta dihadiri oleh 35.000 penonton dan berlokasi di alun-alun Madiun. Kemudian ada pementasan Lautan Jilbab pada tahun 1990 yang dipentaskan secara massal di Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar. Pada tahun 1992 digelar pementasan Perahu Retak yang berkisah tentang Indonesia pada orde baru yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram yang kemudian diterbitkan sebagai buku oleh Garda Pustaka. Lalu pada tahun 1993 Cak Nun terlibat dalam pementasan Kiai Sableng dan Baginda Faruq.
Image Credit |
Dalam kehidupannya sehari-hari, Cak Nun terjun langsung di masyarakat dan melakukan aktivitas-aktivitas yang mencakup dan memadukan dinamika kesenian, agama, pendidikan politik, dan sinergi ekonomi. Keempat unsur ini berpadu untuk menumbuhkan potensi yang dimiliki rakyat. Kemampuan Cak Nun untuk berbaur dengan masyarakat ditunjukkan dengan bergabungnya beliau dalam sebuah komunitas yang bernama Masyarakat Padhang Bulan. Selain aktivitas rutin bulanan di komunitas ini, Cak Nun juga berkeliling ke berbagai wilayah di seluruh nusantara rata-rata 10-15 kali per bulan bersama rombongan Gamelan Kiai Kanjeng dan rata-rata 40-50 acara massal yang umumnya dilakukan di area luar gedung.
Sebagai budayawan yang selalu produktif, Cak Nun tercatat menyelenggarakan acara-acara bersama Jamaah Maiyah Kenduri Cinta sejak tahun 1990-an yang dilaksanakan di Taman Ismail Marzuki. Kenduri Cinta merupakan salah satu forum silahturahmi budaya dan kemanusiaan yang dikemas dengan sangat terbuka, non partisan, ringan, dan dibalut dalam gelar kesenian lintas gender. Acara ini diadakan di Jakarta setiap satu bulan sekali dan sudah berlangsung lebih dari 10 tahun lamanya.
Agenda rutin bulanan Cak Nun lainnya adalah Mocopat Syafaat Yogyakarta, Padhangmbulan Jombang, Gambang Syafaat Semarang, Bangbang Wetan Surabaya, Paparandang Ate Mandar, Maiyah Baradah Sidoarjo, dan masih ada beberapa lain yang bersifat tentatif namun sering diselenggarakan seperti Obro Ilahi Malang. Dalam pertemuan-pertemuan sosial ini, Cak Nun melakukan berbagai dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola komunikasi, metoda perhubungan budaya, pendidikan mengenai cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat seperti yang dilakukan orang tua Cak Nun ketika beliau masih kecil.
Sastra mengantarkan nama Cak Nun dikenal banyak orang lewat berbagai jenis karya yang beliau keluarkan, salah satunya adalah lewat buku-buku. Pada tahun 1985 Cak Nun mengeluarkan 2 buku berjudul “Dari Pojok Sejarah dan Sastra Yang membebaskan.” Kemudian tahun 1990 beliau menulis “Secangkir Kopi Jon Pakir”. Produktivitasnya tidak berhenti sampai tahun-tahun berikutnya beliau mengeluarkan buku-buku dengan judul Markesot Bertutur (1993), Markesot Bertutu Lagi (1994), Surat Kepada Kanjeng Nabi (1996), Indonesia Bagian Penting dari Desa Saya (1994), Tahajjud Cinta (2003), dan masih ada banyak lagi karya-karya Cak Nun.
Image Credit |
Kiprahnya di dunia sastra dan perannya melestarikan budaya membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpanggil untuk memberikan sebuah penghargaan kepada Cak Nun. Pada bulan Maret 2011, Cak Nun memperoleh penghargaan Satyalancana Kebudayaan 2010 langsung dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan ini, menurut menteri kebudayaan dan pariwisata Jero Wacik merupakan penghargaan yang diberikan kepada seseorang yang memiliki jasa besar di bidang kebudayaan. Peran Cak Nun dalam melestarikan kebudayaan daerah atau nasional ini juga menjadi poin lebih yang membuat dianugerahkannya penghargaan ini kepada beliau. Selain itu, penghargaan ini juga diberikan kepada orang yang mampu melahirkan karya-karya yang berguna serta bisa memberi manfaat bagi masyarakat, bangsa juga negara.
Bagaimana dengan jejak karier Cak Nun selama dia berkiprah di dunia sastra? Pada tahun 1970, Cak Nun mengemban tugas sebagai pengasuh ruang sastra di harian Masa Kini, Yogyakarta. Pada tahun 1973-1976 beliau bekerja sebagai wartawan atau redaktur di harian yang sama. Kemudian sampai sekarang, Cak Nun dipercaya menjadi pemimpin teater dinasti di Yogyakarta dan grup musik Kyai Kanjeng. Tak lupa, sekarang beliau masih aktif menulis puisi dan kolomnis di beberapa media.
Sebagai seorang budayawan sejati yang mengusung tinggi nilai-nilai Islami, Cak Nun tidak hanya berkarya lewat tulisan dan teater. Beliau juga aktif di grup musik Kiai Kanjeng. Lewat grup musik ini beliau menyampaikan pesan-pesan Islam yang dikemas dengan alunan nada-nada indah. Lewat karier-nya bersama grup musik ini pula Cak Nun mendapatkan sebuah cerita kehidupan yang cukup menarik. Sebuah cerita mengenai bagaimana kita seharusnya memandang sebuah keberagaman dan perbedaan. Begini ceritanya.
Pada saat itu Cak Nun menyelenggarakan tampil bersama grup musik Kiai Kanjeng di suatu pementasan yang berjudul Al Qur’an dan Merah Putih Cinta Negeri di Masjid Cut Meutia. Bersama grup musik ini Cak Nun dan teman-temannya mengenakan pakaian serba putih. Dalam kesempatan tersebut beliau melagukan shalawat atau bernyanyi dengan gaya gospel yang kuat dengan iringan musik gamelan yang kontemporer. Pementasan ini digelar di hadapaan jamaah yang berkumpul di sekitar panggung Masjid Cut Meutia. Kemudian setelah shalat tarawih yang juga diadakan di sana selesai, sayup-sayup terdengar intro sebuah lagu yang sangat khas merupakan lagu dari agama lain yaitu lagu malam kudus. Dan saat itu pula terdengar syair, “Sholatullah salamullah/ ‘Ala thoha Rasulilah/ Sholatullah salamullah/ Sholatullah salamullah/ ‘Ala yaasin Habibillah/ ‘Ala yaasin Habibillah.”
Begitu alunan shalawat itu selesai, terdengar tepuk tangan dan teriakan dari para jamaah yang menyasikkan pementasan tersebut. Mendengar teriakan-teriakan dari jamaah masjid yang ada di hadapannya, Cak Nun kemudian berkata bahwa ia tidak menganggap ada perbedaan antara lagu Islam dan lagu Kristen, bagi Cak Nun tidak ada yang namanya lagu Islam maupun lagu Kristen. Bahwa apa yang sedang dilakukan Cak Nun dan teman-teman rombongan grup musiknya ini bukanlah bernyanyi melainkan bershalawat. Mengapa Cak Nun melakukannya? Karena satu tujuan yaitu ingin mengubah pola pikir masyarakat mengenai adanya keberagaman agama di negara kita.
Kita ini tinggal di tengah-tengah keberagaman. Cak Nun menyadari benar akan hal ini. Dalam beberapa diskusi yang digelar bersama komunitasnya, Cak Nun seringkali menyinggung masalah pluralisme. Menurutnya tak ada yang harus dipermasalahkan mengenai pluralisme. Tidak ada yang harus dibahas dan dibuat-buat menjadi masalah besar seperti yang sering terjadi akhir-akhir ini. Kata beliau pluralisme seharusnya memang tidak menimbulkan masalah sejak zaman kerajaan Majapahit sampai sekarang. Bagi Cak Nun, sejak zaman nenek moyang dulu pun bangsa ini sudah plural dan terbukti bisa hidup rukun. Jika sekarang ada beberapa hal yang menyulut konflik di tengah-tengah pluralisme, Cak Nun berpendapat bahwa itu adalah salah satu bentuk dari intervensi negara luar.
Meskipun sejak kecil dibekali dengan ilmu islami yang kuat, dan meskipun sampai sekarang Cak Nun masih berkarya dengan mengusung napas islami yang kental, akan tetapi beliau secara tegas telah menyatakan bahwa beliau mendukung pluralisme yang ada di negara kita.
Bagi Cak Nun, pluralisme bukan berarti menganggap semua agama itu sama. Tentu saja berbeda. Agama beliau, agama Iislam, tentu berbeda dengan Kristen, Buddha, Katolik, Hindu, dan begitu pula sebaliknya. Menurut Cak Nun tidak ada yang perlu disamakan dari semua perbedaan itu. Jika berbeda maka biarlah berbeda. Yang harus dilakukan masyarakat dalam menghadapi perbedaan bukanlah menciptakan sebuah kesamaan, akan tetapi menghargai adanya perbedaan itu dan hidup damai di tengah-tengahnya.
Seperti biasa, seorang tokoh hadir di tengah-tengah kita bukan tanpa tujuan dan alasan. Ada pesan yang coba dibawa olehnya. Begitu juga dengan kehadiran budayawan kita yang satu ini, Cak Nun. Beliau hadir dengan membawa pesan kehidupan untuk kita, untuk generasi muda yang seringkali lupa pada dunia sekitar karena terlalu sibuk dengan diri sendiri. Lewat kisah hidupnya, Cak Nun secara tersirat telah memberikan kepada kita ajaran-ajaran yang penting untuk kita ingat sekaligus kita terapkan di dalam hidup kita.
Pesan utama yang tersirat dari kisah hidup Cak Nun adalah: “jangan menjadi asing dengan dirimu sendiri, mulailah untuk mengenali dirimu sendiri sejak dini.”
Cak Nun mungkin tidak mampu menyelesaikan studi akademisnya dengan baik. Beliau tidak bisa meraih gelar sarjana ekonomi karena harus berhenti di semester 1 masa kuliahnya. Akan tetapi, semangatnya untuk menimba ilmu di bidang yang ia cintai begitu tinggi. Ya, sastra telah menjadi pashion-nya. Sastra pula yang telah mengalir dalam pembuluh darahnya dan oleh karena itulah Cak Nun memutuskan untuk meninggalkan kuliahnya demi mengejar apa yang ia yakini sebagai jalan hidupnya.
Dari sini kita bisa belajar, bahwa mengenali diri sendiri, mengenali pashion kita sendiri, adalah hal yang sangat penting. Bukankah lebih baik untuk mengetahui bakat dan kemampuanmu sejak awal baru memilih sekolah yang tepat? Karena seorang Cak Nun yang tidak mendapatkan sekolah sastra secara resmi saja bisa hebat, apalagi kalau didukung dengan mendapat ilmu lewat bangku kuliah yang resmi?
Cak Nun mengenal dan mendalami sastra bukan lewat bangku sekolah resmi dari pemerintah. Tidak ada jadwal mata kuliah dan tidak ada ujian, juga tidak ada gelar sarjana untuknya. Tetapi semua itu tidak membuat kemampuan berkarya Cak Nun lebih buruk dari mereka yang lulus dari bangku kuliah. Di sini Cak Nun mengajarkan kepada kita bahwa untuk menjadi seseorang yang hebat tidaklah harus lewat bangku kuliah. Percuma kuliah jika di dalam hati kita tidak ada usaha dan niat untuk berkembang demi mencapai kesuksesan. Intinya, kuliah bukanlah segalanya. Jangan hanya karena merasa sudah kuliah kamu jadi merasa ada jaminan untuk sukses di masa depan. Tentu tidak, semua itu bergantung pada individu masing-masing dalam menjalani kehidupannya. Sukses itu adalah pilihan bukan sebuah suratan takdir yang ditunggu kedatangannya.
Cak Nun juga mengajarkan satu hal penting yang seringkali dilupakan oleh kita, yaitu bahwa: “ilmu bisa didapat dimana saja bukan hanya di bangku kuliah.” Cak Nun buktinya mampu mengerti sastra dari gurunya yang beliau temui ketika beliau menetap di Malioboro, Yogyakarta. Sebagai mahasiswa yang melek dunia, harusnya kita mulai menyibukan diri untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Karena ilmu bukan hanya bisa kita dapat di kelas tapi juga dari dunia luar tempat kita bersosialisasi dengan masyarakat.
Landasan agama yang kuat adalah pondasi kokoh yang senantiasa mengiringi perjalanan hidup Cak Nun. Sejak kecil sampai sekarang orang tua Cak Nun telah menjejali beliau dengan ilmu-ilmu agama yang kokoh. Harapannya adalah supaya Cak Nun di kehidupannya kelak selalu berpegang teguh pada ilmu agama. Hal ini dikarenakan agama, bagi keluarga Cak Nun, adalah pegangan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di kehidupan. Ini patut kita contoh, agama apapun, bukan hanya agama Islam. Setiap agama memiliki nilai-nilai yang bisa kita jadikan pedoman dan pegangan dalam menghadapi permasalahan yang ada di hidup kita. Sekarang ini banyak generasi muda yang lupa pada agama mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar